Benetenews - Merasa
prihatin dengan jumlah mata air yang terus berkurang di Kecamatan Maluk,
Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Idris Sahidu (64) terdorong
berbuat sesuatu. Sedikit demi sedikit dia tanami areal di luar kawasan hutan
dengan pepohonan. Hasilnya, mata air yang sempat mati, pulih kembali.
“Sumber
air semakin habis. Kalau sumber air terus berkurang, bisa-bisa manusia dan
hewan akan saling makan,” ungkap Idris, warga RT 09 RW 03, Desa Maluk,
Kecamatan Maluk itu, saat ditemui, Rabu (4/4/2018).
Komentar
Idris didasari pengamatannya atas kondisi sungai dari hulu ke hilir seperti
sempadan sungai yang memprihatinkan karena longsor dihantam banjir di musim
hujan. Demikian juga bekas tegakan tertutup tanah di Hutan Kesi –Wilayah
Kawasan Pengelolaan Hutan Sejorong. Kondisi serupa terlihat di kawasan Kuantar,
Desa Bukit Damai, Kecamatan Maluk.
Di
Kuantar –berada di lingkar tambang PT Newmont Nusa Tenggara (kini dikuasai PT
Amman Mineral)– terdapat lahan menjadi milik perseorangan, yang kemudian
membabat vegetasi dan tegakan pohonnya. Kemudian mereka menjadikannya kebun dan
ladang dengan ditanami jagung. Hilangnya tegakan pohon sebagai tangkapan air di
kawasan itu menjadikan sumber air mengering. Sejumlah mata air pun hilang.
Menurut
Idris, di dua lokasi tersebut terus menurun dari 38 titik mata air tahun 2003
berkurang menjadi 23 titik pada tahun 2005, 11 titik (2011-2012) hingga dua
tahun lalu hanya tersisa dua titik. Degradasi kawasan itu menggangu
kelangsungan mahluk hidup. Malah tahun 2000, Idrus menyaksikan ‘perang’
antar-hewan karena memperebutkan mata air.
Tidak
seperti manusia, hewan kan tidak punya dan mustahil membeli air kemasan kalau
haus
Untuk
merekam konflik air antar-kawanan binatang itu, Ia membuat tangga dan tempat
berpijak di atas pohon. “Seekor monyet betina berteriak karena anaknya
kehausan. Induk monyet itu pun menerabas kawanan sapi, lalu dengan tangan
kanannya mengambil dan memberi minum air itu untuk anaknya,” kisahnya.
“Tidak
seperti manusia, hewan kan tidak punya dan mustahil membeli air kemasan kalau
haus,” ujarnya.
Konservasi
Kejadian itu meninggalkan bekas yang mendalam. Sejak saat itu Idrus mengisi
hari-harinya dengan masuk-keluar Kawasan Hutan Kesi, setelah mendapat izin
instansi terkait untuk menanam sejumlah bibit pohon di KPH Sejorong. Namun di
awal aktivitasnya, ratusan bibit pohon sonokeling dan mahoni yang ditanam mati
dimakan dan terinjak ternak. Kalaupun sedikit besar, ada saja yang menebang
untuk dimanfaatkan.
Idris Sahidu, penyelamat mata air dari Desa Maluk, Kecamatan Maluk, NTB, saat ditemui, Rabu (4/4/2018) |
Idris
Sahidu, penyelamat mata air dari Desa Maluk, Kecamatan Maluk, NTB, saat
ditemui, Rabu (4/4/2018).
Ia
pun beralih menanam pohon beringin di kawasan itu. Bibit beringin didapatkan
dengan mencangkok batang beringin. Proses perbanyakan bibit ditanam dalam wadah
bekas galon dan karung beras bekas, berisi tanah dan pupuk kompos yang
diraciknya sendiri. Proses pembibitan dan pembuatan pupuk kompos yang
dipelajarinya secara otodidak, di tanah milik tetangganya.
Bibit
beringin yang ditanam berumur dua tahun, setinggi dua meter agar tidak diinjak
sapi yang digembalakan di hutan, ladang dan kebun. Kemudian Idris dan
isterinya, Hamisa, membawa bibit batang beringin untuk ditanam di kawasan
hutan. Malah, dengan uangnya sendiri, Idris menyewa seekor kuda, Rp 150.000,
untuk mengangkut bibit ke pintu masuk hutan berjarak 3 km dari rumahnya.
Selebihnya
Idris memikul dua batang bibit seberat 3 kilogram, itu sejauh 1 kilometer
menempuh medan naik turun untuk ditanam di kawasan hutan. Di sekitar lokasi
penanaman bibit, Ia membuat terasering atau undakan guna menghambat laju air
hujan dan mengendap ke tiap undakan tanah itu.
Air
minum hewan
Tertampungnya
air dalam tanah, kata Idris, bermanfaat untuk konservasi: memperbaiki struktur
tanah dan kadar bahan organik tanah. “Saya pilih pohon beringin untuk ditanam,
karena perakarannya padat dan kuat menahan erosi, tumbuhnya relatif cepat,
daunnya yang rindang memacu munculnya sumber air di bawahnya. Yang terpenting
pohon beringin tidak disukai (dicuri) orang,” katanya.
Sedikitnya
300 pohon beringin sudah ditanam di kawasan Hutan Sejorong. Tiga mata air
kembali berair setelah mengering bertahun-tahun. Kini lokasi itu menjadi tempat
beristirahat pencari kayu bakar di hutan. Sedang di Bukit Damai, satu sumber
air yang diselamatkan kini menghasilkan debit air tiga liter per jam.
Idris
juga meluangkan waktu untuk membantu kebutuhan air minum bagi monyet, sapi
hewan lain yang berkeliaran di kawasan hutan. Ia memikul air sumur di rumahnya
untuk mengisi sejumlah ember yang ditanam dalam tanah pada beberapa titik di
Bukit Damai dan KPH Sejorong.
Kita hidup bukan
untuk diri sendiri, tetapi juga untuk semua mahluk hidup. Kita tidak akan
miskin karena berbuat untuk mahluk hidup
Pengisian
wadah minum hewan itu dilakukan tiga kali seminggu pada musim kemarau
(Oktober-November), saat hewan membutuhkan air. “Itu adalah panggilan hati
saya, sesama mahluk hidup. Apalagi manusia adalah khalifah di bumi. Artinya,
kita hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi juga untuk semua mahluk hidup. Kita
tidak akan miskin karena berbuat untuk mahluk hidup”.
Pemahaman
seperti itulah yang membuatnya meninggalkan kampung asalnya, Desa Wawo,
Kabupaten Bima tahun 1997. Ia sempat hidup ‘nomaden’ di satu desa lalu pindah
ke desa lain di Kabupaten Bima dan Dompu. Di desa persinggahan itu, kepada
warga, Ia menawarkan diri untuk mengkonservasi ladang dengan tanaman lokal yang
dapat mendekatkan air ke permukaan tanah.
Persinggahan terakhir bersama keluarganya adalah di Dusun Maluk Loka.
Rencananya
hanya dua tahun Idrus tinggal di dusun itu, tetapi kekhawatiran akan kerusakan
lingkungan lebih parah lagi, membuat ia 20 tahun menjadi penduduk dusun
itu. Namun Ia masih pulang-pergi Bima dan Dompu untuk mengajak warga
menghijaukan bukit yang gundul. Ajakannya itu acapkali ditolak, karena akan
mematikan usaha warga menanam jagung yang menjadi produk unggulan di NTB.
Idris
tetap bergeming untuk menyelamatkan sumber mata air. Di sela kegiatan
konservasi, Ia bekerja serabutan, membuatkan taman di halaman rumah warga, juga
memproduksi pupuk kompos. Dari hasil memburuh itu Idrus bisa membeli tanah
seluas 300 meter persegi untuk tempat tinggal, sekaligus membiayai pendidikan
tiga putra-putrinya menyelesaikan perguruan tinggi.
Sampai
kapan Idrus menyelematkan sumber mata air bagi kehidupan manusia dan mahluk
hidup, “Insya Allah, sampai Allah mencabut nyawa saya,” ujarnya.
(USH/DIM)
(USH/DIM)
Idris
Sahidu
Lahir: Bima, 1 Januari 1954
Istri: Hamisa (60)
Anak: Gufran, Agus Parman, Khairunnisa, Miftahul Jannah
Aktivitas: Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Swadaya Gunung Pemanto, Sumbawa Barat
Lahir: Bima, 1 Januari 1954
Istri: Hamisa (60)
Anak: Gufran, Agus Parman, Khairunnisa, Miftahul Jannah
Aktivitas: Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Swadaya Gunung Pemanto, Sumbawa Barat
* Sumber : Harian Kompas Edisi 16 April 2018
No comments:
Post a Comment